Sabtu, 21 Agustus 2010

Berzakat Cerminan Kepribadian


Orang yang mengeluarkan zakat merasa bahwa apa yang ia berikan kepada orang fakir dan orang yang layak menerimanya bukanlah karena kemurahannya, akan tetapi ia adalah hak yang telah ditetapkan oleh Allah untuk si fakir melalui dirinya. Dan tidak menutup kemungkinan suatu saat posisinya bertukar dengan si fakir tersebut; dia berhak menerima shadaqah dan orang fakir itu yang mengeluarkan shadaqah.

Al Qur’an melarang kita membatalkan pahala shadaqah dengan menyebut-nyebutnya, menyakiti si penerima dan riya’. Ini merupakan aspek tarbawi (pendidikan dari Allah) yang amat penting yang dapat menumbuhkan keikhlasan pada Allah, tidak menganggu orang lain dan mengembangkan kasih sayang serta cinta kasih.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada oraang-orang kafir.” (Al Baqarah: 264)

Allah itu Thayyib (baik) dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan Al Qur’an menyuruh kita untuk menginfaqkan harta yang baik dan yang kita cintai, bukan yang buruk (jelek) dan kita benci. Ini merupakan aspek tarbawi yang amat penting untuk memerangi sifat egois dan hanya mencintai diri sendiri.

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al Baqarah: 267)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran:92)

Alangkah indahnya. Bila perasaan orang yang bershadaqah membumbung tinggi, hingga ia merasa lebih butuh bershadaqah kepada orang fakir daripada kebutuhan orang fakir pada shadaqah itu. Sebab ia lebih butuh pada kebaikan dan pahala yang disediakan oleh Allah pada hari kiamat daripada kebutuhan orang fakir pada harta di dunia. Ia membutuhkan pahala Allah agar dapat selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga. Karenanya, dialah yang harus berusaha memberikan kepada orang fakir dan tidak perlu menunggu ucapan terima kasih darinya, bahkan dialah yang harus berterima kasih kepada si fakir yang memberinya kesempatan untuk mengumpulkan bekal yang bermanfaat di akhirat.

Powered By Blogger
Web Hosting