Minggu, 14 Juni 2009

Kemiskinan Itu Ujian Allah!

Kamis, 18/09/2008 15:34 WIB (era muslim)
Punya pendidikan tinggi merupakan impian tiap orang. Tapi, bagaimana jika kemiskinan terus menghadang. Jangankan untuk biaya kuliah, buat makan saja susah.

Punya pendidikan tinggi merupakan impian tiap orang. Tapi, bagaimana jika kemiskinan terus menghadang. Jangankan untuk biaya kuliah, buat makan saja susah.

Berikut ini penelusuran dan wawancara Eramuslim dengan seorang pemulung yang kini bisa terus kuliah di jurusan akuntansi di Pamulang, Tangerang. Mahasiswi berjilbab itu bernama Ming Ming Sari Nuryanti.

Sudah berapa lama Ming Ming jadi pemulung?

Sejak tahun 2004. Waktu itu mau masuk SMU. Karena penghasilan ayah semakin tidak menentu, kami sekeluarga menjadi pemulung.

Sekeluarga?

Iya. Setiap hari, saya, ayah, ibu, dan lima adik saya berjalan selama 3 sampai 4 jam mencari gelas mineral, botol mineral bekas, dan kardus. Kecuali adik yang baru kelas 2 SD yang tidak ikut.

***

Tempat tinggal Ming Ming berada di perbatasan antara Bogor dan Tangerang. Tepatnya di daerah Rumpin. Dari Serpong kurang lebih berjarak 40 kilometer. Kawasan itu terkenal dengan tempat penggalian pasir, batu kali, dan bahan bangunan lain. Tidak heran jika sepanjang jalan itu kerap dipadati truk dan suasana jalan yang penuh debu. Di sepanjang jalan itulah keluarga pemulung ini memunguti gelas dan botol mineral bekas dengan menggunakan karung.

Tiap hari, mereka berangkat sekitar jam 2 siang. Pilihan jam itu diambil karena Ming Ming dan adik-adik sudah pulang dari sekolah. Selain itu, bertepatan dengan jam berangkat sang ayah menuju tempat kerja di kawasan Ancol.

Setelah berjalan selama satu setengah sampai dua jam, sang ayah pun naik angkot menuju tempat kerja. Kemudian, ibu dan enam anak itu pun kembali menuju rumah. Sepanjang jalan pergi pulang itulah, mereka memunguti gelas dan botol mineral bekas.

Berapa banyak hasil yang bisa dipungut?

Nggak tentu. Kadang-kadang dapat 3 kilo. Kadang-kadang, nggak nyampe sekilo. Kalau cuaca hujan bisa lebih parah. Tapi, rata-rata per hari sekitar 2 kiloan.

Kalau dirupiahkan?

Sekilo harganya 5 ribu. Jadi, per hari kami dapat sekitar 10 ribu rupiah.

Apa segitu cukup buat 9 orang per hari?

Ya dicukup-cukupin. Alhamdulillah, kan ada tambahan dari penghasilan ayah. Walau tidak menentu, tapi lumayan buat keperluan hidup.

***

Ming Ming menjelaskan bahwa uang yang mereka dapatkan per hari diprioritaskan buat makan adik-adik dan biaya sekolah mereka. Sementara Ming Ming sendiri sudah terbiasa hanya makan sekali sehari. Terutama di malam hari.

Selain itu, mereka tidak dibingungkan dengan persoalan kontrak rumah. Karena selama ini mereka tinggal di lahan yang pemiliknya masih teman ayah Ming Ming. Di tempat itulah, mereka mendirikan gubuk sederhana yang terbuat dari barang-barang bekas yang ada di sekitar.

Berapa hari sekali, pengepul datang ke rumah Ming Ming untuk menimbang dan membayar hasil pungutan mereka.

Kalau lagi beruntung, mereka bisa dapat gelas dan botol air mineral bekas di tempat pesta pernikahan atau sunatan. Sayangnya, mereka harus menunggu acara selesai. Menunggu acara pesta itu biasanya antara jam 9 malam sampai jam 2 pagi. Selama 5 jam itu, Ming Ming sebagai anak sulung, ibu dan dua adiknya berkantuk-kantuk di tengah keramaian dan hiruk pikuk pesta.

Kalau di hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, keluarga pemulung ini juga punya kebiasaan yang berbeda dengan keluarga lain. Mereka tidak berkeliling kampung, berwisata, dan silaturahim ke handai taulan. Mereka justru memperpanjang rute memulung, karena biasanya di hari raya itu, barang-barang yang mereka cari tersedia lebih banyak dari hari-hari biasa.

Ming Ming tidak malu jadi pemulung?

Awalnya berat sekali. Apalagi jalan yang kami lalui biasa dilalui teman-teman sekolah saya di SMU N 1 Rumpin. Tapi, karena tekad untuk bisa membiayai sekolah dan cinta saya dengan adik-adik, saya jadi biasa. Nggak malu lagi.

Dari mana Ming Ming belajar Islam?

Sejak di SMU. Waktu itu, saya ikut rohis. Di rohis itulah, saya belajar Islam lewat mentoring seminggu sekali yang diadakan sekolah.

Ketika masuk kuliah, saya ikut rohis. Alhamdulillah, di situlah saya bisa terus belajar Islam.

Orang tua tidak masalah kalau Ming Ming memakai busana muslimah?

Alhamdulillah, nggak. Mereka welcome saja. Bahkan sekarang, lima adik perempuan saya juga sudah pakai jilbab.

***

Walau sudah mengenakan busana muslimah dengan jilbab yang lumayan panjang, Ming Ming dan adik-adik tidak merasa risih untuk tetap menjadi pemulung. Mereka biasa membawa karung, memunguti gelas dan botol air mineral bekas, juga kardus. Bahkan, Ming Ming pun sudah terbiasa menumpang truk. Walaupun, ia harus naik di belakang.

Ming Ming kuliah di mana?

Di Universitas Pamulang, Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi S1.

Maaf, apa cukup pendapatan Ming Ming untuk biaya kuliah?

Jelas nggak. Tapi, buat saya, kemiskinan itu ujian dari Allah supaya kita bisa sabar dan istiqamah. Dengan tekad itu, saya yakin bisa terus kuliah.

Walaupun, di semester pertama, saya nyaris keluar. Karena nggak punya uang buat biaya satu semester yang jumlahnya satu juta lebih. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah semuanya bisa terbayar.

***

Di awal-awal kuliah, muslimah kelahiran tahun 90 ini memang benar-benar melakukan hal yang bisa dianggap impossible. Tanpa uang memadai, ia bertekad kuat bisa masuk kuliah.

Ketika berangkat kuliah, sang ibu hanya memberikan ongkos ke Ming Ming secukupnya. Artinya, cuma ala kadarnya. Setelah dihitung-hitung, ongkos hanya cukup untuk pergi saja. Itu pun ada satu angkot yang tidak masuk hitungan alias harus jalan kaki. Sementara pulang, ia harus memutar otak supaya bisa sampai ke rumah. Dan itu ia lakukan setiap hari.

Sebagai gambaran, jarak antara kampus dan rumah harus ditempuh Ming Ming dengan naik empat kali angkot. Setiap angkot rata-rata menarik tarif untuk jarak yang ditempuh Ming Ming sekitar 3 ribu rupiah. Kecuali satu angkot di antara empat angkot itu yang menarik tarif 5 ribu rupiah. Karena jarak tempuhnya memang maksimal. Jadi, yang mesti disiapkan Ming Ming untuk sekali naik sekitar 14 ribu rupiah.

Di antara trik Ming Ming adalah ia pulang dari kuliah dengan berjalan kaki sejauh yang ia kuat. Sambil berjalan pulang itulah, Ming Ming mengeluarkan karung yang sudah ia siapkan. Sepanjang jalan dari Pamulang menuju Serpong, ia melepas status kemahasiswaannya dan kembali menjadi pemulung.

Jadi, jangankan kebayang untuk jajan, makan siang, dan nongkrong seperti mahasiswa kebanyakan; bisa sampai ke rumah saja bingungnya bukan main.

Sekarang apa Ming Ming masih pulang pergi dari kampus ke rumah dan menjadi pemulung sepulang kuliah?

Saat ini, alhamdulillah, saya dan teman-teman UKM Muslim (Unit Kegiatan Mahasiswa Muslim) sudah membuat unit bisnis. Di antaranya, toko muslim. Dan saya dipercayakan teman-teman sebagai penjaga toko.

Seminggu sekali saya baru pulang. Kalau dihitung-hitung, penghasilannya hampir sama.

Jadi Ming Ming tidak jadi pemulung lagi?

Tetap jadi pemulung. Kalau saya pulang ke rumah, saya tetap memanfaatkan perjalanan pulang dengan mencari barang bekas. Bahkan, saya ingin sekali mengembangkan bisnis pemulung keluarga menjadi tingkatan yang lebih tinggi. Yaitu, menjadi bisnis daur ulang. Dan ini memang butuh modal lumayan besar.

Cita-cita Ming Ming?

Saya ingin menjadi da'i di jalan Allah. Dalam artian, dakwah yang lebih luas. Bukan hanya ngisi ceramah, tapi ingin mengembangkan potensi yang saya punya untuk berjuang di jalan Allah. (MN)

Wahai saudaraku, Maafkan aku

oleh Halimah Minggu, 14/06/2009 06:53 (Eramuslim)

Assalamu’Alaikum Wr.Wb.

Setelah tulisanku yang terakhir dimuat ( di kolom oase iman ), aku sangat banyak menerima email yang intinya agar aku bermuhasabah diri, agar tidak mempersoalkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu di permasahkam. Aku tersentak dan kaget, ternyata aku telah menyakiti perasaan sesama saudara muslim.

Aku yang pada awal menulisnya dengan niat untuk memberikan masukan, demi partai yang telah megikat hatiku itu, ternyata aku menyakiti perasaan mereka. Walau apapun argumentasi yang akan aku berikan, tetap saja aku memang bersalah.

Aku sebagai penulis pemula yang sering kali tidak tahu menempatkan kata dan tidak mengetahui benar efek apa yang akan di timbulkan dari tulisanku, ternyata membuatku sangat cemas, dan gelisah.

Cemas karena merasa bersalah hanya melihat satu sisi sebuah partai yang sebenarnya tidak sebanding dengan perjuangan mereka. Perjuangan yang banyak mengorbankan waktu, tenaga, harta dan keluarga demi membantu sesama untuk berjalan di jalan kebenaran. Mereka termasuk orang-orang yang diciptakan Allah sebagai Rakhmatan Lil ‘Alamin.

Gelisah karena aku malu pada diriku sendiri, pada partai yang aku kagumi dan pada lingkunganku. Aku merasa terhukum karena aku lalai untuk memaknai apa yang telah aku tuliskan sebelum aku kirimkan. Aku bertindak bodoh, untuk urusan yang sebenarnya hampir tidak ada apa-apanya di banding perjuangan partai yang tujuannya hanya mencari ridho Allah Swt,

Sebuah persoalan yang sangat berat aku rasa saat ini. Aku ingin menangis, tapi air-mataku tak bisa tumpah. Aku yang belajar menulis untuk berbagi hikmah ternyata hanya membuat sebuah kebodohan. Ya Allah, ampuni hambamu yang tidak bisa melihat sisi terang sebuah kebaikan seseorang, hanya sibuk dengan kekurangannya, tanpa bertanya pada diri sendiri : “Apa yang telah aku perbuat untuk umat ini?”

Wahai saudaraku, maafkan aku.
Malunya dirasa. Baik pada diri, pada saudaraku kaum muslim, dan pada Allah Swt. Aku terlalu naïf dan egois. Egois untuk sebuah permintaan, yang aku tahu mereka sudah sangat kepayahan untuk menangkis pemurtadan hingga di ujung kampung terpencil. Mereka ikhlas dengan sejumlah pengorbanan, yang aku tidak mungkin bisa melakukannya. .

Wahai saudaraku, maafkan aku.
Air-mata ini akhirnya mengalir deras. Aku tidak ingin mengatakan : “Aku hanya manusia biasa yang seringkali melakukan kesalahan. Aku merasakan dalam hidupku ini, inilah dosa besar yang telah aku perbuat. Partai itu telah membuatku merengkuh hidayah Allah. Membuatku bahagia dengan segala pertemanan di dalamnya, membuatku bersemangat untuk selalu memperbaiki diri, tapi apa balasannya dariku? Bagaikan aku menggunting dalam lipatan!” Ya Allah, ampuni aku yang tidak tahu balas budi ini.

Wahai saudaraku, maafkan aku.
Aku memang berhak untuk di marahi, untuk dimaki atau apapun yang menurut saudaraku itu terbaik buatku, aku akan menerimanya dengan lapang dada. Karena memang aku harus menanggung semuanya atas perbuatanku ini. Perbuatan yang lalai untuk selalu bercermin pada diri sebelum mempertanyakan kerja orang lain. Bertanya pada diri : “Mampukah aku berbuat seperti mereka, dengan segala tetes keringat dan meninggalkan keluarga demi orang-lain?”

Aku ucapkan terima-kasih atas semua email yang ditujukan kepadaku. Semoga semua saran dan kritikan kalian yang tujuannya hanyalah agar aku memperbaiki pola pikirku ini, mendapatkan balasan setimpal dari Allah Swt. Amiin.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.

Halimah taslima

Powered By Blogger
Web Hosting